Selasa, 14 Oktober 2014

MENGENAL KUTU KAYU (WOODLICE)


Oleh: Zulfan Aris

Salah satu jenis kutu kayu, Armadillidium sp.
Foto oleh: Junaidy Michael Angelo

P
ernahkah anda membongkar tumpukan kayu yang busuk, tumpukan sampah organik, atau mencangkul tanah dan tiba-tiba banyak hewan kecil menyerupai kutu keluar dari sana?. Hewan tersebut berwarna keabuan, memiliki antena yang cukup panjang dan pergerakannya lincah. Mungkin tidak banyak dari anda yang memperhatikan dengan teliti hewan itu, hewan tersebut adalah kutu kayu (woodlice). Meskipun dinamakan kutu kayu, namun hewan ini bukan sejenis kutu meskipun sama-sama berasal dari Filum Arthropoda. Kutu kayu berasal dari Kelas Malacostraca (Isopoda) termasuk di dalamnya kepiting, udang dan lobster, sedangkan kutu berasal dari Kelas Arachnida termasuk di dalamnya kalajengking dan lipan/kelabang.
            Kutu kayu termasuk Isopoda yang hidup di darat dimana kerabatnya sebahagian besar hidup di laut dan air tawar. Kutu kayu biasa ditemukan di bawah atau di dalam tumpukan kayu yang lapuk, di tanah, dan khususnya di tumpukan kompos dimana mereka memakan bahan-bahan organik yang membusuk. Kutu kayu memiliki lapisan epikutikular (kutikula) menyerupai lilin, dari lapisan ini pula hewan tersebut melakukan pertukaran gas untuk pernafasan melalui insang. Karena tubuhnya tertutupi kutikula yang inpermeable (tidak dapat dilalui air), maka hewan ini akan cepat kehilangan air di tubuhnya jika kondisi kering. Untuk mengatasi hal tersebut, respon yang dilakukannya adalah bersembunyi di tempat yang lembab di bawah tanah atau timbunan sampah. Untuk itu, kelembaban merupakan faktor yang sangat menentukan bagi kehidupan dari kutu kayu tersebut dan secara langsung mempengaruhi distribusi mereka.
            Beberapa jenis kutu kayu yang umum kita jumpai diantaranya adalah Armadillidium, Philoscia, Oniscus dan Porcellio. Masing masing memiliki beberapa perbedaan seperti ukuran tubuh, habitat dan makanan. Secara morfologi jenis Armadillidium memiliki ukuran tubuh ± 1,8 cm, Philoscia memiliki ukuran tubuh ± 0,8 cm, Oniscus memiliki ukuran tubuh ± 1,3 cm, Porcellio memiliki ukuran tubuh ± 1,2 cm. Secara fisiologi, jenis Armadillidium lebih dapat mentoleransi kondisi yang lebih kering dibandingkan Porcelio, sedangkan jenis Philoscia tetap membutuhkan kondisi lingkungan yang lembab. Ukuran transpirasi tiap jenis berbeda dan boleh jadi berkorelasi dengan perbedaan dalam struktur kutikula yang dapat menjadi lebih permeabel (dapat dilalui air) dengan adanya kenaikan suhu sampai titik tertentu. Tidak satupun dari isopoda terestrial dapat benar-benar terbebas dari kelembaban karena mereka bernafas melalui insang yang membutuhkan adanya udara lembab. 

Philoscia sp. tampak dorsal, ventral dan lateral
Foto oleh: Zulfan Aris

 

Porcelio sp. tampak lateral
Foto oleh: Zulfan Aris

            Secara ekologi, berbagai jenis kutu kayu dapat dijumpai di hampir seluruh belahan dunia yang memiliki kondisi lingkungan yang lembab seperti di hutan, taman, bahkan di pinggir rumah. Mereka menyukai tempat yang tertutup dan aktif beraktivitas pada malam hari. Kutu kayu memiliki beberapa predator diantaranya laba-laba, lipan, semut, kodok, semut bahkan burung. Jika merasa terancam oleh predator, kutu kayu dapat menggulungkan tubuhnya seperti bola sebagai mekanisme perlindungan diri. Selain sebagai perlindungan diri, menggulungkan tubuh tersebut juga dilakukan untuk jika kondisi lingkungan menjadi lebih kering.
            Kutu kayu bereproduksi secara seksual dengan menghasilkan telur, di mana telur-telur tersebut disimpan di dalam kantung berisi cairan ketika telah terjadi pembuahan. Ketika anakan sudah cukup dewasa, meraka akan dilepaskan oleh induknya. Jumlah anakan yang dihasilkan tergantung kepada kondisi betina. Biasanya betina hanya dapat bereproduksi maksimal 2 kali dalam hidupnya. Hal tersebut dikarenakan kondisi mereka yang seringkali dibawah tekanan disebabkan hidrasi yang terlalu berlebih. Dalam hubungannya dengan manusia, kutu kayu dapat dianggap sebagai hama yang merugikan namun dapat juga dianggap sebagai hewan yang menguntungkan. Hewan ini dapat merusak barang yang terbuat dari kayu seperti tiang rumah dan kursi, terutama yang diletakkan di luar. Namun, hewan ini juga berperan dalam menghancurkan bahan-bahan organik baik hewan maupun tumbuhan yang mati, tapi kurang berperan dalam humifikasi (pembentukan humus). Di Amerika beberapa orang menjadikan kutu kayu dari jenis Armadillidium sebagai hewan peliharaan.

Armadillidium sp. dijadikan hewan peliharaan
Sumber foto: turtletown.giblar.com



Pustaka Acuan:

- Andrews, W. A. 1930. A Guide to the Study of Soil Ecology. Prentice-Hall, Inc. New Jersey.

Brown, A. L. 1980. Ecology of Soil Organisms. Heinemann Educational Ltd. London.

Campbell, N. A & Reece, J. B. 2010. Biologi. Edisi ke-8. Jilid 2. Diterjemahkan oleh: Wulandari, D. T. Erlangga. Jakarta.

Sabtu, 11 Oktober 2014

ORGANISMA TANAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN IKLIM GLOBAL


Oleh: Zulfan Aris


Saya yakin sebagian dari anda akan mengerutkan kening ketika membaca judul dari tulisan ini. Berbagai pertanyaan mungkin terlontar dari dalam diri anda ketika membacanya seperti; apa hubungannya?? Kok bisa?? Apa-apaan ini?? Lebayy… dan mungkin ada juga yang tidak mengerti (hehehe). Hal ini wajar karena mungkin hanya sedikit dari kita yang mengetahui lebih jauh dan mendalam mengenai organisma tanah ini. Meskipun demikian, pastilah anda sudah tahu barang sedikit tentang organisma tanah. Yuppss… semua organisma yang hidup, mencari makan serta berkembang biak baik didalam maupun diatas permukaan tanah atau dengan kata lain semua organisma yang hidupnya bergantung pada tanah itulah yang dinamakan organisma tanah. Organisma tanah ini sangat banyak jenis dan jumlahnya, mulai dari organisma yang tidak kasat mata (mikroskopis) sampai kepada ukuran yang besar (makroskopis), yang jenisnya mulai dari bakteri hingga hewan bertulang belakang (chordata). Jika saya tanyakan contohnya, sebagian dari anda akan menjawab cacing tanah, semut, jangkrik, kaki seribu dan organisma tanah lainnya yang sudah familiar bagi kehidupan kita. Jika penjelasan paragraf pertama ini sudah umum bagi anda, maka anda sudah memahami apa itu organisma-organisma tanah. Yaa.. sesederhana itu, hehehe….
Walaupun kita sudah mengetahui tentang organisma-organisma tanah, namun hanya sedikit yang mengetahui manfaatnya terutama bagi kehidupan kita. Sebagian besar organisma tanah sebenarnya bermanfaat bagi kehidupan kita. Jumlah serta kelimpahan spesies-spesies yang berada didalam tanah sangat penting untuk kesuburan tanah, sementara kesuburan tanah sangat penting untuk ketersedian pangan dan sandang bagi penduduk dunia. Hal tersebut merupakan salah satu manfaat dari organisma tanah. Secara umum, Hieronymus Yuliprianto dalam bukunya BIOLOGI TANAH dan STRATEGI PENGELOLAANYA menyebutkan bahwa; “Biota (organisma) tanah dapat dilihat sebagai mesinnya biologi bumi dan diimplikasikan dalam sebagian besar fungsi kunci dalam menyediakan pelayanan ekosistem melalui pengendalian proses siklus hara fundamental, dinamika struktur tanah dan degradasi polutan, regulasi komunitas tumbuhan. Proses-proses tanah secara mikrobiologi memainkan peranan penting dalam menetralisir perubahan iklim global melalui perananya sebagai sumber karbon dan karbon yang hilang dan turunan gas-gas rumah kaca seperti NOX dan methane”.
Setelah membaca paragraph kedua setidaknya kita sudah memahami berbagai manfaat yang dihasilkan oleh organisma tanah. Mmm… sangat penting menurut saya. Namun hanya sedikit dari kita yang peduli akan hal itu. Melanjutkan dari manfaat organisma tanah yang terakhir menurut Hieronymus Yuliprianto tadi, yaitu “peranannya dalam menetralisir perubahan iklim global” karena inilah sesungguhnya pertanyaan terbesar sejak judul dari tulisan ini mengusik anda untuk membacanya. Yess..!! akhirnya saya berhasil mengajak anda menelaah tulisan saya lebih jauh. Hohoho… :D
Perubahan iklim global saat ini sangat erat hubungannya dengan pemanasan global (global warming) dan kerusakan lapisan ozon. Perubahan iklim merupakan ISU LINGKUNGAN yang sangat menarik perhatian sekaligus keprihatinan pada abad ke-21 ini. Perubahan iklim global sebahagian besar atau hampir seluruhnya disebabkan oleh tindakan manusia. Eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) yang berlebihan seperti penggundulan hutan, pencemaran lingkungan (tanah, air dan udara) dan pemakaian zat atau bahan kimia yang berbahaya bagi lingkungan merupakan latar belakang dan akar dari segala permasalahan tersebut.
            Setelah kita sadar akan marabahaya yang dapat ditimbulkan oleh perubahan iklim global tersebut dikemudian hari, berbagai tindakanpun dilakukan untuk mengatasi hal tersebut seperti mengeluarkan aturan-aturan yang membatasi aktivitas manusia terhadap lingkungannya. Salah satu tindakan yang banyak dilakukan adalah dengan menggalakkan penanaman kembali hutan-hutan yang telah gundul (reboisasi) serta menetralisir pencemaran ekosistem perairan terutama laut dengan memanfaatkan serangkaian peralatan bioteknologi. Langkah-langkah berikutnya yang diambil adalah dengan mengurangi pemakaian alat-alat atau zat kimia yang berdampak terhadap kerusakan lingkungan.
            Lantas, dimana pengaruh organisma tanah dalam perubahan iklim global???
            Jika pencemaran dan kerusakan yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia itu menggangu atau bahkan merusak habitat hidup organisma tanah (dalam hal ini tanah), maka tak ayal hal ini akan berimbas kepada kehidupan organisma tanah. Pengaruh dari kerusakan dan berkurangnya organisma tanah ini tidak secara langsung berimbas kepada perubahan iklim terutama iklim global, namun melalui serangkaian permasalahan dengan melibatkan faktor biotik dan abiotik lain. Jika hal ini terjadi maka efek yang ditimbulkan sangat besar layaknya efek domino. Faktor-faktor biotik dan abiotik yang berkolerasi dengannya antara lain; tanah, unsur-unsur hara, tumbuhan, Oksigen (O2) dan Karbondioksida (CO2). Lebih lanjut akan dibahas pada paragraf berikutnya.. hehe…
            Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa organisma tanah dalam aktivitasnya adalah sebagai sumber karbon dan karbon yang hilang dan turunan gas-gas rumah kaca seperti NOX dan methana yang penting dalam menetralisir perubahan iklim global. Selain itu, organisma tanah juga menyediakan unsur hara yang penting bagi kesuburan tanah. Tanah yang subur tentu merupakan syarat utama bagai kelangsungan semua tumbuhan darat sebagai salah satu produsen O2 dan yang juga menciptakan IKLIM MIKRO. Gabungan antara iklim mikro satu dengan iklim mikro lainya dari tumbuhan inilah salah satunya yang akan menciptakan IKLIM GLOBAL. Nah…. Sekarang coba anda pikirkan jika organisma-organisma tanah ini terganggu dan populasinya turun drastis akibat berbagai pencemaran tanah dan kerusakan lainnya, maka imbasnya adalah kesuburan tanah menjadi berkurang atau terganggu dan berimplikasi pada kelangsungan hidup tumbuh-tumbuhan atau bahkan tumbuhan itu tidak mampu hidup sama sekali. Jika ini terjadi maka suplai O2 bebas di alam akan berkurang begitu juga dengan iklim-iklim mikro lainya. Bila iklim-iklim mikro ini berkurang, BAYANGKAN DAMPAKNYA TERHADAP IKLMIM GLOBAL!!!.
            Begitu kita memahami sesuatu tentang masalah tersebut, kita mulai bisa memikirkan tentang hubungan antara organisma-organisma tanah terhadap kesuburan tanah, lalu kesuburan tanah terhadap kelangsungan hidup tumbuh-tumbuhan di bumi, dan kelangsungan hidup tumbuhan terhadap suplai oksigen dan iklim mikro yang dihasilkannya, serta hubungan antara iklim-iklim mikro yang dihasilkan tumbuh-tumbuhan dengan iklim global di bumi. (skemanya kurang lebih seperti gambar dibawah).


Tujuan terbesar saya dalam tulisan ini adalah untuk meyakinkan orang-orang bahwa kita tidak bisa menganggap bahwa keanekaragaman organisma-organisma tanah itu tidak terkait dengan yang ada diatas tanah apalagi hal-hal penting seperti perubahan iklim. Dulu banyak orang menganggap bahwa laut adalah tempat sampah raksasa, dan banyak orang menganggap tanah seperti itu juga. Namun saat ini kita telah mengetahui bahwa banyak organisma di laut yang melaksanakan berbagai proses bermanfaat bagi kita, meskipun banyak yang belum kita kenal. Hal ini menurut saya juga berlaku bagi tanah dan semua organisma yang ada didalamnya.. so.. jangan remehkan hal-hal kecil disekitar kita!!

silahkan meninggalkan komentarnya.. :)

Minggu, 05 Oktober 2014

Habitat, Relung, dan Teritori



Oleh : Zulfan Aris

Setiap makluk hidup memiliki tempat hidup, tempat hidup ini disebut dengan habitat. Habitat menyediakan berbagai sumberdaya yang dimanfaatkan oleh makhluk hidup tersebut untuk bertahan. Habitat itu sendiri memiliki beberapa syarat sebagai pembatas suatu mahkluk hidup yang bertahan di dalamnya. Batas bawah persyaratan tersebut disebut dengan titik minimal, batas atas adalah titik maksimal, dan diantara keduanya terdapat titik optimal. Ketiga titik ini biasa disebut dengan titik kardinal. Tiap titik kardinal memiliki kisaran nilai tertentu.
Persawahan
foto oleh: Zulfan Aris





Jika suatu makhluk hidup berada diluar titik minimal dan maksimal secara mendadak, maka makhluk hidup tersebut akan mati atau berpindah ke tempat lain. Jika perubahanya terjadi secara perlahan bahkan sampai ke generasi berikutnya, maka kemungkinan makhluk hidup tersebut dapat mentoleransi dan perlahan beradaptasi dengan perubahan itu. Walaupun demikian, kemungkinan generasi yang akan datang dapat berbeda dari generasi sebelumnya dapat saja terjadi, bahkan sampai dapat membentuk ras bahkan spesies baru.
            Habitat menyediakan berbagai sumberdaya untuk kelangsungan makhluk hidup di dalamnya. Misalnya adalah tempat berlindung dari gangguan dan istirahat, tempat mencari makan, tempat bertelur dan melahirkan, tempat untuk melakukan perkawinan dan mencari pasangan dan lain sebagainya. Dengan demikian maka habitat suatu makhluk hidup tersebut dapat lebih dari satu. Sekelompok lebah habitat bersarangnya dipohon yang tinggi atau di sebuah gedung, habitat mencari makannya dapat di taman bunga atau di kebun-kebun buah yang bunganya sedang bermekaran. Seekor burung emprit, habitat bersarangnya di pepohonan, habitat mencari makannya di persawahan dan beristirahat di pepohonan sekitar pinggiran sawah. Burung-burung migran misalnya, bermigrasi dari satu negara ke negara lain untuk mencari makan lalu kembali ke tempat asalnya untuk melakukan perkawinan dan bertelur.
            Dalam suatu habitat tiap makhluk hidup memiliki cara tersendiri untuk bertahan dan memanfaatkan habitat itu. Pada habitat persawahan padi dapat kita jumpai berbagai macam jenis burung secara bersamaan, ada yang memakan biji padi, ada yang memakan serangga, ada yang memakan katak dan ikan, ada pula yang memakan tikus dan ular. Cara makhluk hidup tersebut dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia disekitarnya untuk hidup dinamakan dengan relung. Relung terkadang disebut juga sebagai identitas atau profesi makhluk hidup di alam.
Berbagai jenis burung di ekosistem persawahaan. A. burung pemakan tikus (sumber foto: wikipedia.org), B. burung pemakan serangga, C. burung pemakan biji padi, D. burung pemakan ikan dan serangga. Foto oleh: Zulfan Aris


Relung ekologis merupakan gabungan dari berbagai faktor biotik dan abiotik yang diperlukan makhluk hidup tertentu untuk bertahan. Faktor-faktor biotik dan abiotik tersebut bersama-sama membentuk habitat untuk menyediakan kebutuhan makhluk hidup di dalamnya. Relung terbagi menjadi 2 yaitu relung khusus dan relung umum. Makhluk hidup yang memiliki relung khusus dinamakan spesialis dan yang memiliki relung umum dinamakan generalis.
Relung yang berhimpitan atau bersinggungan dapat saja mengubah relung suatu makhluk hidup dari relung asalnya. Persinggungan atau tumpang tindihnya relung makhluk hidup dapat mengakibatkan terjadinya kompetisi antar makhluk hidup. Jika kompetisi ini terjadi, maka makhluk hidup yang kalah akan mati atau berpindah ketempat lain. Jika kompetisi terjadi antara makhuk hidup sejenis (intraspesifik) maka akan menciptakan relung yang lebih generalis, karena individu yang kalah harus mencari dan memanfaatkan sumber daya yang lain untuk bertahan selain sumber daya utamanya. Jika terjadi kompetisi berbeda jenis (interspesifik) maka akan menciptakan relung yang lebih spesialis, karena makhluk hidup yang jenisnya kalah bersaing harus memanfaatkan sumberdaya yang lebih sempit atau spesifik dari sebelumnya.
Makhluk hidup dengan relungnya di suatu habitat memiliki daerah atau wilayah yang dipertahankannya dari makhluk hidup yang lain baik sejenis maupun berlain jenis, daerah tersebut disebut dengan teritori. Daerah teritori makhluk hidup berbeda tiap jenis bahkan juga  tiap individunya. Makhluk hidup juga memiliki cara berbeda dalam menandai daerah teritorinya, ada yang menggunakan air seninya (contohnya singa, harimau, chetah) ada pula yang menggunakan suaranya (contohnya monyet, burung). 
Singa jantan menandai daerah teritori dengan air seninya
Sumber foto: www.spotonlists.com
Jika ada hewan lain yang memasuki daerah teritori tersebut, maka akan terjadi perkelahian atau konflik. Hewan yang kalah akan menyingkir dengan sendirinya dari daerah tersebut. Daerah teritori umumnya digunakan untuk menunjukkan dominansi makhluk hidup terhadap kelompoknya (teritori dalam lingkupan yang luas). Ada pula daerah teritori yang digunakan untuk mempertahankan aktivitas kesehariannya (teritori dalam lingkupan yang sempit/khusus) seperti jarak makan dengan individu lain, tempat istirahat dan bersarang dalam kelompok.


Pustaka Acuan:
 
-      Soemarwoto, O. 2008. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan. Jakarta.
-     
 




Sabtu, 04 Oktober 2014

Odontoponera transversa dan Odontoponera denticulata, kerabat dengan karakter ekologi berbeda



oleh: Zulfan Aris


S
emut merupakan salah satu fauna paling eksis di muka bumi ini. Hampir semua tempat dihuni oleh fauna ini, kecuali daerah kutub. Fauna yang digolongkan ke dalam famili Formicidae ini dikenal juga sebagai serangga sosial, disebut demikian karena dalam hidup dan kehidupan mereka saling mengelompok dan bekerja sama baik dalam mencari makan maupun bertempat tinggal dalam jumlah yang besar. Dari sekian banyak spesies semut yang ada di permukaan bumi ini, Odontoponera transversa dan Odontoponera denticulata adalah 2 diantaranya (kebanyakan orang menyebut mereka “semut hitam”1)). Genus Odontoponera sendiri hanya tersebar di kawasan Asia Tenggara, India serta Tiongkok. Kawasan Indonesia merupakan salah satu daerah sebarannya yang paling melimpah (lihat gambar 1), hal inilah yang menyebabkan semut ini tidak asing lagi bagi kita.


Genus Odontoponera pertama kali diperkenalkan oleh Mayr pada tahun 1862 untuk menamai Ponera denticulata yang diperkenalkan oleh F. Smith 1857 yang kini menjadi sinonim. Dua spesies ini dahulunya dianggap sama, O denticulata hanya merupakan sinonim dari O. transversa. Namun, beberapa karakter morfologi yang berbeda menunjukkan bahwa keduanya bukan spesies yang sama.
Salah satu peneliti yang tertarik untuk meneliti kedua spesies ini adalah Seiki Yamane 2) pada tahun 2009 di pulau Borneo (Kalimantan). Yamane menyimpulkan perbedaan keduanya, 4 diantaranya sebagai berikut (lihat Gambar 2.):
1.    Scape antena (bagian pangkal antena yang tidak bersegmen) pada O. transversa relatif lebih panjang bila dibandingkan dengan O. denticulata.
2.    Ukuran mata pada O. transversa relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan O. Denticulata.
3.    Bagian kepada (caput) pada O. transversa memiliki bentuk cekungan yang agak lebar, pada O. denticulata cekungannya sempit.
4.    O. transversa umumnya memiliki warna lebih cerah (cokelat kemerahan) sedangkan warna O. denticulata lebih gelap (terkadang hitam) dengan kaki yang berwarna agak kemerahan.


Selain perbedaan secara morfologi, kedua spesies ini ternyata dapat dibedakan sebaran ekologis berdasarkan habitatnya serta perilakunya. Spesies O. transversa umumnya banyak dijumpai di kawasan hutan atau daerah yang tidak banyak aktivitas dan gangguan manusianya dan hampir tidak pernah dijumpai di daerah yang banyak aktivitas manusianya. Berkebalikan dengan O. transversa, O. denticulata justru lebih banyak ditemukan pada daerah-daerah terganggu atau daerah yang banyak aktivitas manusianya seperti daerah pertanian, kebun dan pekarangan rumah dan sulit di temukan di hutan-hutan atau daerah yang jarang terjamah manusia. O. transversa juga lebih menyukai tempat yang lebih gelap dan lembab sedangkan O. denticulata lebih menyukai tempat yang lebih terbuka. Yamane bahkan menyebut 2 spesies ini tidak pernah hidup berdampingan dalam satu tempat di Lambir Hills National Park, Sarawak, Borneo. Di Kebun Raya Bogor menurut  hasil penelitian yang dilakukan oleh Ito dkk3) pada tahun 2001, ke dua spesies ini umum di jumpai, meskipun tidak pasti spesies mana yang paling mendominasi.
            Tertarik dengan hal ini, penulis mencoba mencari tahu dengan mengamati dan mengkoleksi beberapa semut hitam sejenis pada areal tepian hutan yang ada aktivitas manusianya di Pancur Batu Kab. Deli Serdang pada 13 November 2013 silam dan dari beberapa jenis yang diamati, hanya 1 individu yang menunjukkan ciri-ciri morfologi ke arah spesies O. transversa, sisanya merupakan jenis yang lain dan kebanyakan adalah O. denticulata yang berjumlah > 30 individu di areal pengamatan sepanjang lintasan tepian hutan.
Pada 10 – 11 Mei 2014 lalu dalam rangka kegiatan Herpetologermania penulis mencoba menyempatkan diri mengamati kembali semut-semut hitam sejenis, kali ini berlokasi di perbatasan Taman Nasional Gunung Leuser tepatnya di Desa Sei Musam Kec. Batang Serangan, Kab. Langkat yang merupakan daerah wisata. Hasil pengamatan ini hampir sama dengan hasil pengamatan di Pancur Batu, namun kali ini O. transversa yang di temukan sebanyak 2 individu sedangkan O. denticulata ditemukan sebanyak > 50 individu dari areal seluas ± 10 x 20 meter.
Selain perbandingan jumlah yang didapatkan, perilaku dari ke dua jenis juga sempat teramati. O. transversa cenderung bersembunyi di sela-sela batu kecil dan retakan tanah atau menunjukkan perilaku berdiam diri ketika di beri gangguan berupa langkah /hentakan kaki, sedangkan O. transversa cenderung mengacuhkannya seolah tidak terjadi apa apa. Apakah spesies O. transversa dapat digunakan sebagai bioindikator lahan yang masih baik dan O. denticulata dapat digunakan sebagai bioindikator lahan terganggu, perlu dilakukan penelitian yang intensif untuk mengetahuinya secara pasti.





1) kebanyakan masyarakat awan menyebut spesies semut yang berwarna hitam sebagai “semut hitam”, padahal kebanyakan berbeda spesies

2) Yamane, S. 2009. Odontoponera denticulata (F. Smith) (Formicidae: Ponerinae), a distinct species inhabiting disturbed areas. ARI.(32): 1 – 8.

3) Ito, F., Yamane, Sk., Eguchi, K., Woro A. Noerdijito, Sih Kahono, Tsuji, K., Ohkawara, K., Yamauchi, K., Nishida, T. and Nakamura, K. 2001. Ant species diversity in the Bogor Botanic Garden, West Java, Indonesia, with descriptions of two new species of the genus Leptanilla (Hymenoptera, Formicidae). Hropics, 10: 379-404.